Sakti Wibowo
“Tahukah, seberapa luas ruang dalam hatiku yang kusediakan untukmu
dan seberapa luas ruang
yang kusediakan untuknya?” tanyaRusdi, kepada Eka.
Tengah malam telah usai ketika itu dan waktu berenang menuju
shubuh.
Sepi sudah lama merasuk. Dalam hening yang dihiasi tak-tik jarum
jam atau dengus serangga
Gugup, mata Eka berusaha menyembunyikan gejolak dalam perasaannya
sendiri.
“Ruang untuknya begitu luas,” lanjut Rusdi, kali ini dengan binar
mata yang redup. “jauh lebih luas
dari ruang yang kusediakan untukmu.” Ia kembali menghela nafas
sejenak. “Hanya saja, engkau
harus tahu bahwa ruang yang kecil ini telah berpenghuni. Engkau
telah berdiam di dalamnya.
Sementara ruang yang luas itu... Masih menunggu penghuninya
datang, berdiam, ataukah malah
sebaliknya, terbang tak tahu kemana tujuannya.”
Saya berada diantara dua karib ini. Keduanya adalah orang yang
begitu dekat dengan saya, kendati
belum begitu lama saya mengenalnya. Namun, sungguh, dari keduanya,
saya belajar begitu banyak
makna persaudaraan; kata yang begitu mudah untuk diucapkan, tatapi
amat sulit direalisasikan.
Eka, tak begitu banyak yang bisa saya ceritakan darinya, memiliki
senyum yang sangat bersahabat.
Dalam setiap kesempatan ia tak pernah melupakan 'bahasa' universal
itu untuk memanjakan orang - orang
di sekitarnya dengan 'persaudaraan'.
Bahkan, saya pun, yang belum genap dua bulan mendapat 'jatah'
senyum 'menentramkan' miliknya,
tak bisa menyangkal bahwa ia memiliki karakter yang cool dan
friendly, menawarkan rasa nyaman.
Sementara Rusdi, apa yang hendak saya bincangkan tentangnya?Ia
seorang kawan yang cukup uzur
didera problem-problem kehidupan. Jika boleh dibilang, parasnya
kuyu, lelah dengan cobaan.
Rimpuh nian. Empat tahun lalu pernikahan yang ia bina kandas di
tengah jalan, meyisakan sakit dan
keluh yang begitu panjang. Terkadang, relung luka itu terlihat begitu
menggua di wajahnya, sorot
mata, dan tutur katanya.
Hingga, akhirnya... saya menemukan binar itu. Pada suatu pagi,
sapaan surya sungguh senada
dengan rekah senyum Rusdi.
“Apakah saya jatuh cinta?” tanyanya seperti tak yakin.
Gembira saya menyadari ada yang kembali 'tumbuh' dalam hatinya
yang sekian lama mati.
Memang, boleh dibilang demikian. Kekecewaannya pada kegagalan
pernikahan lalu membuat ia
membatasi diri. Bahkan ia cenderung tertutup, tak mau ikut dalam
pusaran perbincangan atau
anjuran untuk membina keluarga baru. Saat itu, ia selalu berkata
dengan nada pesimis,”Adakah
menikah lagi untuk saya setelah begitu banyak hal terjadi? Saya
tak ingin mengatakan saya trauma,
hanya saja saya berpikir ada baiknya saya merenungi makna
kesendirian. Barangkali itu takdir saya.
Toh, saya pernah menikah dan darinya saya diberi-Nya keturunan.”
Telah begitu banyak yang menganjurkannya untuk menikah lagi,
tetapi semua itu seperti menembus
dinding yang tebal dan menbal.
“Dengan menikah lagi, mungkin engkau akan lebih mudah melupakan
sakit hati atas pengkhianatan
itu,”anjur saya, berulang-ulang kepadanya, di masa-masa lalu.
Selama itu pula saya hanya mendapat gelengan. “Entahlah, aku tak
yakin apakah aku akan menikah
lagi atau tidak. Aku tak ingin dibilang cengeng. Aku juga tidak
mengharamkan pernikahan. Tidak,
tentu saja, sebab menikah adalah sunah Rasul. Hanya saja, aku
harus berpikir seribu kali untuk
memutuskannya, sebab aku tak siap untuk mengulangi kegagalan.”
Entah berapa waktu yang ia perlukan untuk berpikir seribu kali
itu. Yang saya lihat bahwa ia telah
melewati bilangan tahun keempat percerainnya yang menyakitkan.
“Aku masih menikmati kesendirian semacam ini, Wie!”
katanya. “Memang, terkadang tumbuh rasa sakit setiap mengingat
anakku tidak bisa kuambil untuk
kurawat. Namun, paling tidak, aku bisa tumbuhkan sugesti bahwa
suatu saat nanti aku akan
memiliki kesempatan berdekatan dengan si Kecil. Ia akan mengerti
bahwa aku mencintainya, lewat
Hingga, akhirnya perubahan yang selalu saya harapkan itu pun
datanglah. Saya mendapatinya telah
terpinang cinta. Cinta sering membuat kita menjelma kanak-kanak.
Binar itu, adalah binar pemuda
yang jatuh cinta. Manik-manik di matanya berpadu dengan gelisah
yang mematri di nyaris segala
sikap.
“Aku tidak menyangkan akan segelisah ini, Wie!,” katanya.
“adakah yang berubah?”
Dan... ia menyebut sebuah nama.
“Kharismanya sungguh luar biasa. Kedewasaan yang terpancar,
kebijakan dan kewibawaan dalam
setiap kata yang diucapkannya,” pujinya bulat-bulat.
Ratih, nama gadis itu. Seorang akhwat yang mengagumkan, bukan oleh
kecantikan atau
kecerdasan-kendati dua hal itu memang ada padanya- melainkan
kesederhanaan dan kedewasaan
yang begitu alami. Saya pun mengakui bahwa Ratih nyaris memiliki
segala hal yang mungkin
membuat lelaki manapun jatuh cinta.
“Kenapa tidak meminangnya segera?” tanya saya, lebih bersifat
anjuran yang bersifat memaksa.
Kerlingnya, sebelum menjawab, “Aku ingin mengumpulkan keberanian
terlebih dahulu.”
Saya berharap, sungguh, agar Rusdi secepatnya mampu menyusun
keping-keping hatinya. Saya
ingin secepat mungkin bangkit dari puing-puing duka masa lalu
sebab saya tahu hidupnya masih
harus terus berlanjut.
Seperti selalu saya yakini, menikah adalah sebuah sinergi dakwah.
Menikah akan memunculkan
sebuah kekuatan baru lii'laikalimatillah!.
Itulah yang sering kami bincangkan bertiga: saya, Rusdi, dan Eka.
Hingga... tanpa kami duga, sebuah pesan pendek malam itu
menguakkan sebuah rahasia. Sebuah
peristiwa haru yang membuat saya terpekur lama, diam-diam menghela
napas, mengagumi betapa
sungguh saya diperkenalkan-Nya dengan orang-orang yang berjiwa
besar.
Terlengak saya. Saat itu, dengan terbata-bata dan berusaha
mengendalikan kegugupannya, Eka
meminta handphone-nya dari tangan saya. Memang, saking dekatnya
hubungan kami bertiga, nyaris
tak ada yang kami sembunyikan dari masing-masing. Oleh karenanya
pula, kami nyaris tak
mempermasalahkan pesan-pesan singkat dalam handphone kami akan
dibaca siapa.
Sayalah yang membuka pesan saat dering handphone Eka mengabarkan
pesan baru masuik. Dari
sanalah saya tahu bahwa Eka tengah menjalani masa ta'aruf dengan
seorang akhwat, melalui
seorang perantara. Dan ... akhwat itu tiada lain adalah Ratih.
Nyaris tiada kata yang bisa saya ucap. Terbata-bata saya berusaha
menyelamatkan kepanikan di
wajah saya, serta berberapa kata yang sempat terlontaar, sehingga
cukup nyata didengar Rusdi.
Rusdi? Bagaimana reaksinya?
“Jadi...,” suaranya cekat, “selama ini engkau sedang berproses
dengannya?”
Gugup yang sama.
“I-iya...!” Eka berusaha menjawabnya. Cukup lama sunyi menyelingin
kata-katanya. “T-tapi saya
lebih suka untuk membatalkan proses ini demi seorang saudara
saya.”
tanpa saya duga, Rusdi segera meraih tangan Eka, menggenggamnya
erat, dan berkata dengan suara
yang dipenuhi getar. “Alangkah bodohnya saya, alangkah butanya
saya, dan... alangkah tidak-tahudirinya
saya jika itu saya lakukan. Sungguh, saya akan berhenti dengan
perasaan saya.”
“Tidak! Tidak boleh! Dia sangat berarti bagimu! Tidak demikian
dengan saya.” Malam yang begitu
dramatis. Keduanya berpelukan dalam suasana haru.
“Biarkan saya mengalah!” tegas Rusdi. “saya akan mundur dan saya
sudah mentap dengan
keputusan saya. Saya hanya butuh waktu untuk mengendalikan
perasaan.”
lantas dengan denggan, Eka menjawab, “Saya tidak mau jika engkau
mundur hanya karena saya.”
Mata Rusdi mencari wajah Eka. “Apa salahnya? Bukankah Abu Bakar
dan Utsman pernah menahan
diri dari Hafshah karena keduanya mendengar Rasulullah pernah
menyebut nama putri Umar bin
Khathab itu?”
Alangkah...
saya bersyukur menjadi saksi dari peristiwa menyentuh ini.
Sungguh, betapa sulit saya dapati di
masa kini, persaudaraan yang begini erat! Kedekatan memang tidak
mutlak dibentuk oleh lamanya
orang saling mengenal-sebab yang saya tahu, Eka dan Rusdi belum
genap satu bulan saling
mengenal- tetapi oleh kualitas semangat ukhuwah islamiyah di
dalamnya.
Lantas, dalam konsep ukhuwah, tradisi itsar begitu ditekankan oleh
sang qudwah, Muhammad.
Inilah itsar itu..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar