Senin, 18 Maret 2013

Saya Lebih Suka Kehilangan


Sakti Wibowo
“Tahukah, seberapa luas ruang dalam hatiku yang kusediakan untukmu dan seberapa luas ruang
yang kusediakan untuknya?” tanyaRusdi, kepada Eka.
Tengah malam telah usai ketika itu dan waktu berenang menuju shubuh.
Sepi sudah lama merasuk. Dalam hening yang dihiasi tak-tik jarum jam atau dengus serangga
malam di kejauhan, napas pun jelas terdengar helanya.


Gugup, mata Eka berusaha menyembunyikan gejolak dalam perasaannya sendiri.
“Ruang untuknya begitu luas,” lanjut Rusdi, kali ini dengan binar mata yang redup. “jauh lebih luas
dari ruang yang kusediakan untukmu.” Ia kembali menghela nafas sejenak. “Hanya saja, engkau
harus tahu bahwa ruang yang kecil ini telah berpenghuni. Engkau telah berdiam di dalamnya.
Sementara ruang yang luas itu... Masih menunggu penghuninya datang, berdiam, ataukah malah
sebaliknya, terbang tak tahu kemana tujuannya.”
Saya berada diantara dua karib ini. Keduanya adalah orang yang begitu dekat dengan saya, kendati
belum begitu lama saya mengenalnya. Namun, sungguh, dari keduanya, saya belajar begitu banyak
makna persaudaraan; kata yang begitu mudah untuk diucapkan, tatapi amat sulit direalisasikan.
Eka, tak begitu banyak yang bisa saya ceritakan darinya, memiliki senyum yang sangat bersahabat.
Dalam setiap kesempatan ia tak pernah melupakan 'bahasa' universal itu untuk memanjakan orang - orang
di sekitarnya dengan 'persaudaraan'.
Bahkan, saya pun, yang belum genap dua bulan mendapat 'jatah' senyum 'menentramkan' miliknya,
tak bisa menyangkal bahwa ia memiliki karakter yang cool dan friendly, menawarkan rasa nyaman.
Sementara Rusdi, apa yang hendak saya bincangkan tentangnya?Ia seorang kawan yang cukup uzur
didera problem-problem kehidupan. Jika boleh dibilang, parasnya kuyu, lelah dengan cobaan.
Rimpuh nian. Empat tahun lalu pernikahan yang ia bina kandas di tengah jalan, meyisakan sakit dan
keluh yang begitu panjang. Terkadang, relung luka itu terlihat begitu menggua di wajahnya, sorot
mata, dan tutur katanya.
Hingga, akhirnya... saya menemukan binar itu. Pada suatu pagi, sapaan surya sungguh senada
dengan rekah senyum Rusdi.
“Apakah saya jatuh cinta?” tanyanya seperti tak yakin.
Gembira saya menyadari ada yang kembali 'tumbuh' dalam hatinya yang sekian lama mati.
Memang, boleh dibilang demikian. Kekecewaannya pada kegagalan pernikahan lalu membuat ia
membatasi diri. Bahkan ia cenderung tertutup, tak mau ikut dalam pusaran perbincangan atau
anjuran untuk membina keluarga baru. Saat itu, ia selalu berkata dengan nada pesimis,”Adakah
menikah lagi untuk saya setelah begitu banyak hal terjadi? Saya tak ingin mengatakan saya trauma,
hanya saja saya berpikir ada baiknya saya merenungi makna kesendirian. Barangkali itu takdir saya.
Toh, saya pernah menikah dan darinya saya diberi-Nya keturunan.”
Telah begitu banyak yang menganjurkannya untuk menikah lagi, tetapi semua itu seperti menembus
dinding yang tebal dan menbal.
“Dengan menikah lagi, mungkin engkau akan lebih mudah melupakan sakit hati atas pengkhianatan
itu,”anjur saya, berulang-ulang kepadanya, di masa-masa lalu.
Selama itu pula saya hanya mendapat gelengan. “Entahlah, aku tak yakin apakah aku akan menikah
lagi atau tidak. Aku tak ingin dibilang cengeng. Aku juga tidak mengharamkan pernikahan. Tidak,
tentu saja, sebab menikah adalah sunah Rasul. Hanya saja, aku harus berpikir seribu kali untuk
memutuskannya, sebab aku tak siap untuk mengulangi kegagalan.”
Entah berapa waktu yang ia perlukan untuk berpikir seribu kali itu. Yang saya lihat bahwa ia telah
melewati bilangan tahun keempat percerainnya yang menyakitkan.
“Aku masih menikmati kesendirian semacam ini, Wie!”
katanya. “Memang, terkadang tumbuh rasa sakit setiap mengingat anakku tidak bisa kuambil untuk
kurawat. Namun, paling tidak, aku bisa tumbuhkan sugesti bahwa suatu saat nanti aku akan
memiliki kesempatan berdekatan dengan si Kecil. Ia akan mengerti bahwa aku mencintainya, lewat
surat cinta yang selalu kukirimkan padanya bersama angin, bersama doa, bersama mimpi-mimpi.”
Hingga, akhirnya perubahan yang selalu saya harapkan itu pun datanglah. Saya mendapatinya telah
terpinang cinta. Cinta sering membuat kita menjelma kanak-kanak. Binar itu, adalah binar pemuda
yang jatuh cinta. Manik-manik di matanya berpadu dengan gelisah yang mematri di nyaris segala
sikap.
“Aku tidak menyangkan akan segelisah ini, Wie!,” katanya.
“adakah yang berubah?”
Dan... ia menyebut sebuah nama.
“Kharismanya sungguh luar biasa. Kedewasaan yang terpancar, kebijakan dan kewibawaan dalam
setiap kata yang diucapkannya,” pujinya bulat-bulat.
Ratih, nama gadis itu. Seorang akhwat yang mengagumkan, bukan oleh kecantikan atau
kecerdasan-kendati dua hal itu memang ada padanya- melainkan kesederhanaan dan kedewasaan
yang begitu alami. Saya pun mengakui bahwa Ratih nyaris memiliki segala hal yang mungkin
membuat lelaki manapun jatuh cinta.
“Kenapa tidak meminangnya segera?” tanya saya, lebih bersifat anjuran yang bersifat memaksa.
Kerlingnya, sebelum menjawab, “Aku ingin mengumpulkan keberanian terlebih dahulu.”
Saya berharap, sungguh, agar Rusdi secepatnya mampu menyusun keping-keping hatinya. Saya
ingin secepat mungkin bangkit dari puing-puing duka masa lalu sebab saya tahu hidupnya masih
harus terus berlanjut.
Ada banyak mashlahat yang bisaia raih dengan berkeluarga.
Ada banyak potensi dalam dirinya yang akan berkembang jika ia memiliki pendamping yang tepat.
Seperti selalu saya yakini, menikah adalah sebuah sinergi dakwah. Menikah akan memunculkan
sebuah kekuatan baru lii'laikalimatillah!.
Itulah yang sering kami bincangkan bertiga: saya, Rusdi, dan Eka.
Hingga... tanpa kami duga, sebuah pesan pendek malam itu menguakkan sebuah rahasia. Sebuah
peristiwa haru yang membuat saya terpekur lama, diam-diam menghela napas, mengagumi betapa
sungguh saya diperkenalkan-Nya dengan orang-orang yang berjiwa besar.
Terlengak saya. Saat itu, dengan terbata-bata dan berusaha mengendalikan kegugupannya, Eka
meminta handphone-nya dari tangan saya. Memang, saking dekatnya hubungan kami bertiga, nyaris
tak ada yang kami sembunyikan dari masing-masing. Oleh karenanya pula, kami nyaris tak
mempermasalahkan pesan-pesan singkat dalam handphone kami akan dibaca siapa.
Sayalah yang membuka pesan saat dering handphone Eka mengabarkan pesan baru masuik. Dari
sanalah saya tahu bahwa Eka tengah menjalani masa ta'aruf dengan seorang akhwat, melalui
seorang perantara. Dan ... akhwat itu tiada lain adalah Ratih.
Nyaris tiada kata yang bisa saya ucap. Terbata-bata saya berusaha menyelamatkan kepanikan di
wajah saya, serta berberapa kata yang sempat terlontaar, sehingga cukup nyata didengar Rusdi.
Rusdi? Bagaimana reaksinya?
“Jadi...,” suaranya cekat, “selama ini engkau sedang berproses dengannya?”
Gugup yang sama.
“I-iya...!” Eka berusaha menjawabnya. Cukup lama sunyi menyelingin kata-katanya. “T-tapi saya
lebih suka untuk membatalkan proses ini demi seorang saudara saya.”
tanpa saya duga, Rusdi segera meraih tangan Eka, menggenggamnya erat, dan berkata dengan suara
yang dipenuhi getar. “Alangkah bodohnya saya, alangkah butanya saya, dan... alangkah tidak-tahudirinya
saya jika itu saya lakukan. Sungguh, saya akan berhenti dengan perasaan saya.”
“Tidak! Tidak boleh! Dia sangat berarti bagimu! Tidak demikian dengan saya.” Malam yang begitu
dramatis. Keduanya berpelukan dalam suasana haru.
“Biarkan saya mengalah!” tegas Rusdi. “saya akan mundur dan saya sudah mentap dengan
keputusan saya. Saya hanya butuh waktu untuk mengendalikan perasaan.”
lantas dengan denggan, Eka menjawab, “Saya tidak mau jika engkau mundur hanya karena saya.”
Mata Rusdi mencari wajah Eka. “Apa salahnya? Bukankah Abu Bakar dan Utsman pernah menahan
diri dari Hafshah karena keduanya mendengar Rasulullah pernah menyebut nama putri Umar bin
Khathab itu?”
Alangkah...
saya bersyukur menjadi saksi dari peristiwa menyentuh ini. Sungguh, betapa sulit saya dapati di
masa kini, persaudaraan yang begini erat! Kedekatan memang tidak mutlak dibentuk oleh lamanya
orang saling mengenal-sebab yang saya tahu, Eka dan Rusdi belum genap satu bulan saling
mengenal- tetapi oleh kualitas semangat ukhuwah islamiyah di dalamnya.
Lantas, dalam konsep ukhuwah, tradisi itsar begitu ditekankan oleh sang qudwah, Muhammad.
Inilah itsar itu..

Tidak ada komentar: