Rabu, 25 Desember 2013

KERTAS SURAT BIRU MUDA


Wulan! Mata Roy mengerjap tiba-tiba. Ya, gadis bergaun jingga itu memang
Wulani! Roy takkan mampu melupakannya. Sekalipun mereka telah berpisah
sekian lama, tapi Roy masih mengingatnya dengan jelas. Meski begitu, dikucekkuceknya
juga matanya untuk meyakinkan bahwa gadis itu memang betul Wulan!
Roy menghela nafas. Rambut itu, gumamnya tanpa suara. Rambut itu sekarang
sudah memanjang lagi setelah dulu Wulan memotongnya pendek. Roy melangkah pelanpelan.



Dulu, Wulan kelihatan lincah dengan rambut model begitu. Tapi sekarang, dia
nampak anggun dengan rambut panjangnya. Roy mendesah lirih.
Apakah ia masih mengingatku? Pikir Roy sambil memasukkan sebelah tangannya
ke dalam saku celana blue jeans-nya. Apakah ia masih mau menyapaku dengan panggilan
sayang: Bob? Apakah ia masih mau membagi hati lagi seperti dulu? Apakah … uf!
Sialan! Buru-buru Roy menjaga keseimbangan tubuhnya ketika kakinya terantuk sebuah
batu. Dia mengumpat kalang kabut. Untung tidak sampai jatuh terjerembab. Busyet!
Konyol, keluh Roy pahit. Dia membayangkan bagaimana Wulan akan
menertawakannya kalau ia sampai ia melihatnya hampir terjatuh seperti tadi. Ah, gadis
itu, Roy mengeluh. Berapa lama ia tak melihatnya setelah perpisahan itu? Setengah
tahun, satu tahun atau lebih? Ah ya, mereka dulu berpisah minggu pertama pada bulan
Agustus tahun lalu. Berarti lebih dari satu tahun lewat!
Roy menghembuskan nafasnya. Tertatih-tatih ia mendekati Wulan yang berdiri
sekitar dus puluh meter di depannya dan tengah asyik menonton anak-anak kecil bermain
bola. Alun-alun ini memang selalu ramai setiap sore. Tapi, menunggui siapakah Wulan
disini?
Roy cepat menghabiskan sisa langkahnya agar bisa segera berdiri di sisi gadis itu.
Dia menghentikan langkahnya sekitar satu meter di samping gadis itu. Diamatinya wajah
Wulan dengan seksama. Ah, wajahnya masih secantik dulu, gumam Roy tanpa suara.
Rambutnya juga masih selebat dan sehitam dulu. Matanya masih sebulat dulu. Tubuhnya
masih se …. Ah, tidak! Tubuh itu kini lebih kurus. Mata Roy menelusuri tubuh yang
tegak di sampingnya. Ya, dia lebih kurus, tebaknya pasti. Tentu memikirkan aku, senyum
Roy. Heh, ge-er! Dia tertawa sendiri dalam hati.
Bukk! Roy tersentak tiba-tiba. Sebuah bola menghantam punggungnya. Serentak
dia meloto. Seorang anak kecil tertawa sambil berlari-lari menghampirinya.
“Sialan!” gerutunya pelan. Diambilnya bola yang bergulir di dekat kakinya. Lalu
dipermain-mainkannya. Tapi ia tak urung tersenyum ketika melihat anak kecil itu
mengerjab-ngerjabkan matanya dengan jenaka.
“Bob …?!”
Roy menoleh seketika. Siapa yang memanggilku dengan panggilan itu? Wulan?
Cepat-cepat diberikannya bola itu pada anak di depannya yang segera berlari setelah
meneriakkan terima kasih.
Roy berdiri tertegun. Wulan juga. Bahkan wajah gadis itu sudah memucat.
Dadanya menggemuruh. Bob? Roy? Dia. Mengerjapkan matanya dengan gelisah.
Kemudian buru-buru hendak membalikkan tubuhnya. Tapi Roy sudah lebih cepat
mencekal lengannya.
“Lan… “ bibir Roy bergerak-gerak.

“Aku …”
“Menunggui seseorang?” Roy menatapnya dengan tatapan yang kembali seperti
dulu.
“Luki.”
“Luki?”
“Kemenakanku … “ Wulan gugup. Roy tersenyum lembut. Diperhatikannya
Wulan dengan lebih dekat. Dan Roy menyadari, wajah Wulan pun kini agak kurus.
Apakah yang telah terjadi?
“Kau tentu baik-baik saja kan?” ujar Roy kemudian ketika dia tidak tahu apa lagi
yang harus dikatakannya.
Wulan mendesah. “Kau tentu juga,” sahutnya pelan. Roy tersenyum. Kerinduan
berpendar-pendar dalam matanya yang coklat. Dada Wulan berdebar keras.
“Bob, apa yang kau lakukan di sini?”
Ah, ia masih juga memanggilku Bob seperti dulu, gumam Roy dalam hati. My
bunny, Roy mengerdipkan matanya dengan dada berdesir. Ia tak melupakan panggilan itu
rupanya. Hati Roy berdebar-debar.
Roy memandangi Wulan lama-lama. Pertanyaan gadis itu dilupakannya. Ia
merasa lebih perlu menikmati wajah itu daripada menjawab pertanyaannya.
Kalau saja dulu aku tidak terlalu cerewet mengaturnya, pikirnya setengah
menyesal. Ah, sekarang tentu dia sudah mendapatkan penggantiku. Lihatlah sikapnya
yang kaku dan seakan mengambil jarak itu. Roy mengeluh diam-diam dalam hati.
“Maaf, aku pergi dulu.” Tiba-tiba Wulan beranjak dari tempatnya.
“Lan …,” lidah Roy kelu. Tangannya terulur hendak menjangkau lengan gadis
itu. Tapi Wulan sudah bergegas menjauh, dan Roy hanya bisa berdiri terpaku.
Tolol! Runtuknya dalam hati. Kenapa aku tak menggunakan kesempatan ini
dengan baik? Sekarang gadis itu pergi. Dan untuk mendatangi rumahnya, aku belum lagi
memiliki keberanian besar.
Roy melangkah tersaruk-saruk melintasi lapangan rumput yang tiba-tiba
dirasanya jadi pengap.
***
Malam di luar telah lama menjejakan kakinya yang senyap. Barangkali juga sudah
melewati separuh perjalanannya. Lampu-lampu pun sudah semakin temaram. Bahkan
wulan sudah sejak tadi mendengar suara dengkur Indri, kakaknya, yang terlelap. Tapi di
sini, dikamarnya, Wulan merasakan keresahan menggayuti hatinya. Brkali-kali ia
membalikkan tubuhnya dengan gelisah. Berkali-kali ia telah mencoba memicingkan
matanya, tapi selalu saja gagal.
Suara jam dinding yang berdentang dua belas kali menyadarkannya bahwa malam
betul-betul telah larut. Tapi bayangan Roy, rasanya belum pupus dari hatinya,
membuatnya jadi gundah.
Roy, Wulan mengeluh sambil menelentangkan tubuhnya. Matanya menelusuri
langit-langit kamarnya yang putih dan bisu. Kenapa aku harus menjumpainya lagi?
Kenapa aku harus melihatnya lagi setelah setahun lebih aku mencoba menata reruntuhan
hatiku?

Wulan merasakan matanya perlahan-lahan merebak. Dia menyadari, belum
sepenuhnya ia mampu melupakan cowok itu. Wajah Roy yang kecoklatan masih sering
mengusik tidurnya. Senyum Roy yang jenaka masih sering menggoda lamunannya. Dan
mata Roy yang lembut masih sering meresahkannya. Dan sekarang, ia melihatnya lagi
setelah sekian lama tak bertemu!
Wulan mengusap matanya yang memanas. Hatinya menerawang. Ia takkan
pernah mampu melupakan bagaimana perpisahan itu terjadi. Padahal mereka telah
melewati hari-hari yang indah selama berbulan-bulan. Hari-hari, mereka lalui dengan
begitu manis. Penuh tawa, pertengkaran-pertengkaran kecil, perdebatan, semua mereka
lewati dengan perasaan bahagia. Sampai datang saat itu. Roy mulai menuntut! Wulan
ingat bagaimana untuk pertama kalinya Roy “menguasainya.”
“Kupikir engkau lebih cantik dengan rambut pendek, Lan. Dan aku juga lebih
senang kalau engkau berambut pendek. Lebih praktis kelihatan,,” kata Roy suatu hari.
Waktu itu tentu saja Wulan terkejut. Sebab itu adalah tuntutan pertama dari Roy,
sedang Wulan begitu menyukai rambut panjangnya.
“Dan lagi, kau selalu mengepang rambutmu itu. Rasanya kok agak kuno,” kata
Roy lagi sambil tersenyum lembut.
“Aku suka begini, Bob,” Wulan coba membela diri.
“Cuma suka tidak apa-apa. Tapi tidak harus selalu begitu kan? Engkau perlu
variasi.”
“Aku suka yang sederhana,” Wulan masih ngotot.
“Rambut pendek pun bisa sederhana.”
“Ah.”
Roy menatap Wulan mesra. Lama sekali. Kemudian tersenyum.
“Percayalah, engkau akan makin cantik dengan rambut pendek.”
Wulan terdiam.
Berhari-hari kemudian gadis itu bergelut dengan hatinya sendiri. Bagaimanapun
sayang rasanya kalau harus memotong rambut sebagus miliknya. Bertahun-tahun ia
memeliharanya, merawatnya penuh dengan cinta. Sekarang, haruskah ia memotongnya?
Wulan jadi bimbang. Tapi, ada semacam tuntutan aneh yang tiba-tiba
mendorongnya untuk menuruti permintaan Roy. Barangkali karena cintanya yang besar
pada Roy. Maka, jadilah dia memotong rambutnya. Pendek, sebatas bahu.
Wulan mengusap rambutnya di depan cermin. Ia tidak bisa melupakan bagaimana
Roy tampak berseri-seri ketika melihatnya dengan rambut sependek itu.
“Kau betul-betul cantik, Lan!” serunya riang. “Aku sampai pangling!” Roy
menatapnya dengan penuh cinta.
Wulan mencoba menyembunyikan perasaannya. Dia harus merasa yakin bahwa
dirinya betul-betul cantik. Setidaknya dimata Roy.
Tapi belum lagi Wulan terbebas dari perasaan canggungnya dengan model rambut
begitu, Roy sudah mulai melancarkan tuntutannya yang lain.
“Lan, model gaunmu sudah saatnya kau ganti. Kau kelihatan lucu dengan gaun
seperti itu. Lihat Gina, dia manis bukan dengan gaun-gaunnya itu? Dan aku yakin, kau
pun akan tampak semakin manis dengan gaun seperti itu!” Roy tersenyum seperti
membujuknya.
Wulan terpana. Apakah begitu kunonya aku hingga Roy merasa perlu
mengaturku, pikirnya sedikit sedih. Sesaat dia merasa bingung. Menuruti permintaan Roy

berarti dia mengabaikan keinginan dirinya sendiri! Tapi cinta itu, ah! Wulan merasa aneh
ketika ia merasa dirinya, telah berkhianat jika tidak menuruti keinginan Roy. Dan ia lebih
memilih mengubah model gaunnya daripada harus mengkhianati cowok yang dicintainya.
Tapi rupanya tuntutan Roy tidak habis berhenti di situ. Dia menginginkan Wulan
mengikuti gaya hidupnya.
Lan, sekali-kalilah kau ikut pesta. Engkau selalu menolak setiap kali ku ajak ke
pesta. Hidup perlu selingan, Lan. Jangan hanya selalu berkutet dengan buku-buku.”
Seperti biasanya, Roy selalu tersenyum membujuk.
Wulan tentu saja melonggo. Sungguh mati, gaya hidup seperti itu amat di
bencinya. Pesta? Aduh ma, bagaimana aku harus melarutkan diri dalam kebisingan
seperti itu? Wulan menggeleng dengan bingung.
“Ayolah, Lan. Sesekali. Lusa kuajak kau ke pesta di rumah sisi ya? Percayalah,
kau akan menyenanginya,” Roy merayunya.
“Aku tidak suka pesta, Bob. Aku suka ketenangan,” kata Wulan akhirnya.
“Ah, hidup tidak selamanya tenang Non! Kebisingan, kehiruk-pikukan, adalah
sebagian daripadanya,” sahut Roy dengan nada yakin.
“Tapi aku tidak suka musik yang hingar bingar seperti dalam setiap pesta itu!”
Wulan mencoba mendebat.
“Musik yang hingar bingar tidak selalu buruk,” Roy memamerkan senyumnya.
“Adakalanya musik seperti itu enak didengar. Kita perlu semangat hidup. Lagi pula
musik yang lembut pun kadangkala membosankan.”
“Tapi di pesta aku kehilangan ketenanganku. Dan aku tidak suka itu!”
“Kita bisa ditempat yang agak tenang. Di pojok misalnya. Dan lagi, engkau perlu
banyak bergaul. Jangan hanya mengurung diri terus.”
“Bukan aku tidak mau bergaul, Bob. Cuma aku segan berkumpul dengan banyak
orang dalam suasana yang membuatku tidak tentram!”
“Wulan sayang,” Roy mengambil tangan Wulan dan menggengamnya. “Pesta
tidak selamanya tidak menentramkan. Pesta lebih sering memberi hiburan pada kita. Jadi
apa salahnya kau ikut, Ya?”
Wulan menatap Roy lekat-lekat. Dilihatnya ada kesungguhan di mata yang amat
dikaguminya itu. Dan ia hanya sanggup menghela nafas. Entah kenapa, mata Roy selalu
mampu meruntuhkannya. Dan ia tak mampu lagi menolak ketika Roy mengajaknya
datang ke pesta Sisi. Dan aneh, ia justru merasa hatinya lega bukan main. Karena dengan
cara begitu ia merasa yakin telah mampu membuktikan betapa besar cintanya pada Roy.
Dan rupanya hal itu pula yang membuat Roy makin berani menyodorkan
tuntutan-tuntutan yang lain. Seperti menyuruh Wulan berdandan misalnya. Meski Wulan
sudah menolaknya mentah-mentah tapi rayuan Roy rupanya lebih jitu daripada Wulan,
hingga lagi-lagi gadis itu tak berkutik.
Lama kemudian, setelah mereka melewati saat-saat yang penuh tuntutan itu,
setelah Wulan merasa yakin akan cintanya, ia justru merasa dirinya sebagai orang lain.
Dengan rambut pendek, gaun di atas lutut dan pesta-pesta! Wulan merasa sudah tidak lagi
mengenal dirinya sendiri.
Lambat laun kemudian, dia mulai menyadari, bahwa sebenarnya Roy sedang
berusaha merubahnya menjadi orang lain. Roy menginginkan ia melakukan segala apa
yang dilakukan oleh orang lain.

Dia merasa ada semacam perasaan dikuasai yang mengganggu. Dia merasa amat
bodoh dan tertekan serta kehilangan kebebasan. Rasanya setiap geraknya berada dalam
cengkraman Roy. Sampai kemudian dengan hati yang berat dan pedih, dia mengucapkan
selamat tinggal pada Roy. Mulanya dia hampir goyah, tapi sedikit sedikit dia mulai bisa
menyakinkan dirinya bahwa itu adalah keputusan yang terbaik bagi dirinya dan diri Roy.
Lama mereka tidak bertemu karena Roy meneruskan kuliahnya di lain kota,
sementara Wulan sendiri lebih cinta pada kota kelahirannya. Sampai kemarin sore! Ya,
kemarin sore, pertemuannya dengan Roy memaksanya menyibak kembali kenangan yang
lalu!
Wulan menghela nafasnya kuat-kuat. Semuanya sudah berlalu, keluhnya
nelangsa. Tidak ada gunanya memikirkannya lagi. Gadis itu menelungkupkan wajahnya
ke bantal dan menyembunyikan sedu sedanya. Semuanya telah kembali seperti semula.
Rambutnya sudah lebih panjang. Gaun-gaun yang meriah itu sudah disimpannya rapatrapat
dalam almari pakaiannya dan tak pernah diusiknya lagi. Dan pesta-pesta pun sudah
ditinggalkannya. Dia merasa sudah lebih bisa menemukan dirinya kembali. Tapi Roy?
Apakah aku sudah betul-betul meninggalkannya?
Wulan menggelengkan kepalanya dalam bantal dengan gelisah. Roy ternyata
masih senantiasa membayangi hidupnya. Ya, dia harus jujur pada hatinya sendiri, Roy
belum pupus sepenuhnya dari hatinya!
***
Wulan baru saja menutupkan kotak surat ketika ibu tiba-tiba menepuk lengannya
dari belakang.
“Banyak surat?” wanita itu tersenyum lembut.
“Tiga,” sahut Wulan sambil melambaikan tiga pucuk surat di tangannya.
“Buatmu?”
Wulan menggeleng. “Buat Indri satu.” Dia menarik lengan ibunya dan
mengajaknya masuk. Mereka melangkah beriringan. Tapi sampai di depan kamar Wulan,
wanita itu menolak masuk.
“Menyiapkan kopi untuk Ayahmu. Sebentar lagi pulang.” Ujarnya sambil
tersenyum. Wulan ikut tersenyum.
Masuk ke kamarnya, Wulan langsung ke meja belajarnya. Dibukanya surat
pertama. Dari om Wendra di Surabaya. Wulan membacanya pelan-pelan. Tidak ada yang
penting rupanya, selain menyuruh Wulan ke sana pada liburan semester nanti. Rasanya
sudah kangen sekali ingin melihatmu, Wulan, tulis om Wendra di akhir suratnya. Wulan
tersenyum sendiri. Adik bungsu ibunya itu memang paling dekat dengan dirinya, sejak
dulu.
Wulan meraih surat kedua. Buat Indri, dari Bandung. Gadis itu menyimpan
senyumnya ketika tidak membaca nama pengirimnya. Barangkali rahasia, pikirnya
sambil meletakkan surat itu kembali di meja belajarnya.
Diambilnya amplop ketiga. Dan beberapa saat dia termangu. Ada namanya tertera
di sampul surat itu. Diketik rapi, dan sepertinya menyimpan misteri. Entah apa.

Wulan membalik-balik sampul surat itu. Tapi tak ada nama pengirimnya.
Stempelnya dari dalam kota. Berarti orang itu disini, di kota ini. Hati-hati Wulan
menyobek sisi sampul itu. Sepucuk kertas biru muda! Dada Wulan berdebar-debar.
Cepat-cepat dibacanya tulisan-tulisan rapi di atas kertas itu. Dan nama di bawahnya …
Roy! Wulan tertegun. Betulkah ini tulisan Roy? Ah ya, ii memang tulisan Roy!
Wulan menahan nafasnya. Baris-baris kalimat itu di ejanya dengan tergesa.
Wulan,
Engkau pernah membaca buku tentang cinta? Jika engkau membacanya, kau
akan mengerti bahwa sesungguhnya, cinta itu memberi dan menerima. Tapi selama ini
aku justru telah melakukan kesalahan begitu besar. Aku telah menuntut terlalu banyak
darimu.
Barangkali, aku memang telah gagal menjadi kekasihmu. Aku telah membuatmu
kehilangan dirimu sendiri. Aku telah memaksamu menjadi orang lain hanya karena aku
ingin engkau membuktikan cintamu. Sekarang, aku merasa diriku amat kerdil di matamu.
Aku tidak bijaksana, dan barangkali pula tidak memiliki arti lagi bagi dirimu.
Wulan, saat ini aku belum lagi memiliki keberanian untuk menemuimu. Bahkan
untuk menulis ini pun aku harus menghimpun kembali keberanianku selama sekian hari
setelah pertemuan kita. Aku hanya ingin meminta maaf padamu, Wulan. Kesalahanku
begitu banyak. Meski tidak yakin apakah kau masih mau memaafkanku, tapi aku
berharap kau belum menutup pintu hatimu rapat-rapat.
Hatiku belum bisa meninggalkanmu, Wulan. Aku masih memiliki setumpuk rindu
untukmu disini, di dadaku.
Yang selalu mengasihimu,
Roy
Mata Wulan mengerjap-ngerjap pelan. Ada air bening yang mulai menggenangi
sudut-sudut matanya. Bob, desahnya dengan dada sesak. Kalau saja kau tahu, aku juga
belum bisa meninggalkanmu…
Diusapnya pelan-pelan matanya yang mulai terasa perih. Cinta adalah memberi
dan menerima, dibacanya kalimat itu berulang-ulang. Dan ia merasa pintu hatinya
perlahan-lahan mulai terkuak. Ada dentang kerinduan yang bergema di baliknya.
Kerinduan yang telah sekian lama di timbangnya sendiri.
Mata Wulan menerawang. Lewat jendela kamarnya, dilihatnya matahari sore hari
membiaskan warna merah jingga. Hati Wulan berdebar-debar. Bob, bisiknya tak
terdengar. Kau lihat jugakah lukisan kerinduanku ini? Diusapnya lagi matanya yang
panas.
Alangkah rindunya ia tiba-tiba pada suara Roy. Alangkah rindunya ia pada
kecerewetan cowok itu mengaturnya. Alangkah rindunya!
Sore meninggalkan peraduannya. Dan perlahan matahari tertidur menyimpan
rindu hati Wulan yang menggelegak.

Tidak ada komentar: